Catatan dari Jendela Kelas

Di sebuah desa kecil di kaki gunung, berdirilah sebuah sekolah sederhana bernama SD Harapan Bangsa. Atapnya seng, dindingnya papan, dan lantainya tanah yang setiap musim hujan berubah menjadi lumpur. Namun, dari jendela-jendela kayu yang mulai lapuk itu, selalu memancar cahaya—bukan hanya cahaya matahari, tapi juga semangat belajar anak-anak desa.

Pak Damar, seorang guru muda dari kota, memilih mengabdikan diri di sekolah itu. Setiap pagi ia berjalan kaki sejauh lima kilometer dari tempat tinggalnya, hanya untuk mengajar enam kelas dengan segala keterbatasan. Gajinya tak seberapa, tapi senyum anak-anak cukup membayar lelahnya.

Salah satu muridnya, Sari, duduk di kelas lima. Ia anak petani miskin, namun punya cita-cita tinggi: ingin menjadi dokter. Setiap hari ia belajar di bawah cahaya pelita, karena rumahnya tak punya listrik. Tapi semangatnya tak pernah redup.

Suatu hari, hujan deras mengguyur desa selama berhari-hari. Sekolah kebanjiran. Buku-buku basah, papan tulis rusak, dan sebagian besar ruang kelas ambruk karena fondasi yang rapuh. Banyak anak tak datang karena jalan tergenang dan rumah mereka ikut terendam. Namun Sari tetap hadir, membawa buku yang dibungkus plastik dan seikat harapan.

Setelah banjir, datang kabar pahit: dinas pendidikan berencana menutup SD Harapan Bangsa sementara waktu karena dianggap tak layak pakai. Anak-anak diminta pindah ke sekolah di kecamatan—yang letaknya lebih dari sepuluh kilometer dan tak ada kendaraan umum ke sana. Para orang tua gelisah. Sebagian menyalahkan Pak Damar, menyebut perjuangannya sia-sia.

Pak Damar nyaris putus asa. Tapi saat melihat Sari duduk sendirian di reruntuhan kelas sambil menulis di atas papan bekas, semangatnya kembali. Ia pun mengusulkan membuat kelas darurat di rumahnya. Awalnya ditentang warga, tapi setelah Sari berbicara di balai desa dengan suara bergetar namun tulus, “Kalau sekolah ini hilang, impian kami pun ikut hanyut,” barulah hati warga mulai luluh.

Perlahan, semangat itu menular. Warga desa bergotong royong membangun ruang belajar seadanya. Para ibu menyumbang tikar dan makanan, para ayah menyumbang kayu, para warga lainnya ada yang menyumbang buku baru dan alat alat tulis baru dan Pak Damar mengajar dengan lebih gigih meski tanpa fasilitas yang lengkap . Bahkan beberapa guru pensiunan di desa sekitar ikut membantu secara sukarela.

Setahun kemudian, berkat sumbangan dari alumni dan bantuan dari lembaga swasta yang mengetahui kisah mereka, SD Harapan Bangsa berdiri lebih kokoh. Dindingnya tembok, lantainya semen, dan jendelanya kini benar-benar bisa memantulkan cahaya.

Sari pun lulus dengan nilai tertinggi dan mendapat beasiswa ke kota. Saat perpisahan, ia berkata, “Saya akan kembali ke desa ini sebagai dokter, untuk membalas semua cahaya yang pernah saya terima dari jendela kelas ini.”

Dan kali ini, bukan hanya jendela kayu tua yang memantulkan cahaya, tapi juga mata-mata anak desa yang mulai berani bermimpi lebih besar.

penulis:
Meyya Zahra Qurrotul Aini
kelas X-1

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *