LISAN MADRASAH: EKSPRESIKAN DIRI SEBAGAI PIJAKAN AKHLAQ DAN ILMU

Dalam kehidupan sehari-hari, lisan atau tutur kata seringkali dipandang sebagai alat komunikasi biasa. Namun, dalam perspektif yang lebih dalam, lisan sejatinya adalah “madrasah” pertama dan utama bagi pembentukan akhlak dan ilmu seseorang. Ia adalah sekolah kehidupan yang senantiasa aktif mengajarkan, menguji, dan merefleksikan nilai-nilai yang kita pegang. Setiap kata yang terucap tidak hanya menggambarkan isi pikiran, tetapi lebih dari itu, ia adalah cermin dari jiwa dan pijakan kokoh bagi integritas moral serta kedalaman ilmu.

Lisan Sebagai Cermin Akhlak

Peribahasa Arab mengatakan, “Al-Lisanu tarjuman al-aql” (Lisan adalah penerjemah akal). Namun, lisan juga adalah penerjemah hati dan akhlak. Cara seseorang berbicara, kata-kata yang dipilih, intonasi yang digunakan, serta topik yang dibicarakan, semuanya mengungkapkan kualitas dirinya. Ucapan yang santun, lembut, dan penuh hikmah menunjukkan hati yang terjaga dan akhlak yang mulia. Sebaliknya, ucapan kasar, fitnah, ghibah, dan dusta adalah pertanda adanya “penyakit” dalam hati.

Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini menegaskan bahwa kontrol atas lisan adalah indikator keimanan. Lisan yang terlatih untuk berkata baik atau diam dalam situasi yang tidak bermanfaat adalah manifestasi dari akhlak yang kuat. Dalam konteks inilah, lisan berfungsi sebagai madrasah akhlak, di mana setiap kita adalah guru sekaligus murid bagi diri sendiri, terus-menerus belajar untuk mengendalikan dan memuliakan setiap kata.

Lisan Sebagai Pengokoh Ilmu

Di ranah keilmuan, lisan memainkan peran yang tak kalah vital. Ilmu bukan hanya soal yang tertulis di buku atau tersimpan di pikiran, tetapi juga tentang bagaimana ilmu itu diungkapkan, didiskusikan, dan diajarkan. Proses bertanya, berdebat secara sehat, menyampaikan pendapat, dan mengajar adalah aktivitas lisan yang mengokohkan pemahaman.

Ketika seseorang menyampaikan sebuah ilmu dengan lisan, ia dipaksa untuk memahaminya secara lebih struktural dan jelas. Seorang alim atau cendekiawan dikenal tidak hanya dari tumpukan bukunya, tetapi dari kedalaman dan kejelasannya dalam menyampaikan ilmu melalui lisan. Di sinilah lisan menjadi “madrasah” yang mengasah ketajaman berpikir. Diskusi dan dialog yang produktif melatih kita untuk berpikir kritis, mendengar sudut pandang lain, dan merangkai argumen yang logis. Lisan yang “berilmu” akan menghindari penyebaran informasi yang belum valid (ghibah) dan lebih mengedepankan fakta serta hikmah.

Mendidik Lisan, Mendidik Diri

Jika lisan adalah madrasah, maka kita harus menjadi kepala sekolah yang disiplin bagi diri sendiri. Bagaimana caranya?

Selalu Berpikir Sebelum Berkata (T.H.I.N.K.). Sebelum berbicara, tanyakan pada diri sendiri: Apakah ini True (Benar)? Helpful (Bermanfaat)? Inspiring (Menginspirasi)? Necessary (Perlu)? Kind (Baik)?

Memperbanyak Dzikir. Mengisi lisan dengan dzikir dan kalimat thayyibah adalah cara praktis untuk “mengalihkan” lisan dari perkataan sia-sia menengah perkataan yang penuh berkah.

Bergaul dengan Orang Shalih dan Berilmu. Lingkungan adalah kurikulum tidak langsung. Bergaul dengan mereka yang terjaga lisannya akan membawa pengaruh positif bagi cara kita berbicara.

Membiasakan Diri untuk Diam yang Produktif. Diam bukan berarti pasif. Diam adalah momen untuk merenung, mendengar, dan belajar. Diam yang bijak justru adalah bentuk kekuatan lisan yang terkendali.

Senantiasa Belajar. Dengan memperkaya diri dengan ilmu dari berbagai sumber yang terpercaya, lisan kita akan secara alami terisi dengan materi-materi yang bermanfaat dan bernilai.

Lisan kita adalah madrasah berjalan. Setiap kata yang kita ucapkan adalah pelajaran tentang siapa diri kita dan sekaligus menjadi pijakan bagi bangunan akhlak dan ilmu kita. Lisan yang terjaga akan membawa ketenteraman, menyebarkan kebaikan, dan mengukuhkan ilmu. Sebaliknya, lisan yang liar dapat merusak hubungan, menyakiti perasaan, dan mencerai-beraikan pengetahuan.

Mari kita jadikan lisan sebagai madrasah yang selalu memberikan pelajaran kebaikan, ketulusan, dan kebijaksanaan. Karena dengan menjaganya, kita tidak hanya menghormati orang lain, tetapi lebih dari itu, kita sedang membangun fondasi yang kokoh bagi akhlak dan ilmu pribadi kita sendiri.

penulis:

Sugeng Widodo, S.Pd.I

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *