Kurban Terakhir Kakek

Matahari pagi di Desa Cempaka mulai menyinari rumah-rumah kayu yang berserakan di kaki bukit. Hari itu adalah 10 Dzulhijjah—hari Idul Adha. Suara takbir menggema dari masjid kecil di ujung desa, membawa damai ke setiap hati yang mendengarnya.

Rafi, siswa Madrasah Aliyah kelas 11, berdiri di halaman rumah sambil memperhatikan seekor kambing putih yang sedang makan rumput di bawah pohon jambu. Itu kambing milik kakeknya—Pak Danu—yang sudah dipelihara sejak beberapa bulan lalu.

“Kambing ini mau disembelih besok, Kek?” tanya Rafi, ragu-ragu.

Kakeknya tersenyum lembut. “Iya, Nak. Sudah waktunya dia menjadi kurban. Kita niatkan untuk Allah.”

“Tapi sayang, Kek… Kambing ini jinak banget. Namanya si Putih, kan?” Rafi mengelus kepala kambing itu, yang seperti mengerti, hanya diam menatap.

Kakek mengangguk. “Justru karena kita sayang, kita diuji. Kurban bukan hanya soal daging. Tapi seberapa besar kita bisa ikhlas melepas.”

Rafi terdiam. Ia mengingat kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail yang sering ia dengar di sekolah, tapi baru kali ini ia merasa benar-benar mengerti artinya.

Keesokan paginya, setelah salat Idul Adha, warga desa berkumpul di lapangan dekat masjid. Hewan-hewan qurban telah disiapkan. Kakek menyerahkan si Putih dengan wajah tenang, meski Rafi tahu, ada kesedihan yang disembunyikan di balik senyum itu. Setelah proses penyembelihan selesai, daging kurban mulai dibagikan. Rafi dan teman-temannya ikut membantu membungkus dan mengantarkannya ke warga yang membutuhkan.

Di salah satu rumah, seorang ibu menyambut daging kurban dengan mata berkaca-kaca.

“Alhamdulillah… tahun ini kami bisa makan daging. Terima kasih ya, Nak.”

Rafi hanya mengangguk, tapi hatinya hangat. Ia kini benar-benar paham—bahwa di balik darah yang mengalir, ada kebahagiaan yang tumbuh.

Malam harinya, di teras rumah, Rafi duduk bersama kakeknya.

“Kek,” katanya pelan, “tahun depan… aku juga mau beli kambing dari uang tabunganku. Aku mau ikut berkurban.”

Kakeknya menoleh dengan bangga. “Insya Allah, Rafi sudah paham makna Idul Adha yang sesungguhnya. Bukan soal kehilangan kambing, tapi soal mendapatkan hati yang ikhlas.”

Bintang-bintang mulai bermunculan di langit desa. Suara takbir masih terdengar sayup dari surau kecil. Dan di hati Rafi, telah tumbuh sebuah tekad—menjadi manusia yang memberi, bukan hanya menerima.

────

Pesan moral:

Idul Adha bukan hanya tentang menyembelih hewan, tapi tentang menyembelih keegoisan, belajar ikhlas, dan berbagi kepada sesama. Pengorbanan sejati lahir dari hati yang tulus.

penulis:
Meyya Zahra Qurrotul Aini
Kelas X-1

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *