Langkah Kecilku, Mimpi Besarku
Oleh: Meyla Dinar Wulan Sari (XI-2)
Namaku Aira. Aku lahir dan tumbuh di sebuah desa kecil di pinggiran kota. Sejak kecil aku sudah terbiasa melihat bagaimana perempuan di kampungku lebih sering berkutat di dapur dari pagi hingga petang. Kota orang-orang, perempuan cukup bisa memasak, berbenah, bersih-bersih, dan nanti menitik titik. Tapi aku selalu merasa… ada yang lebih dari itu.
Aku juga membaca. Banyak sekali cerita yang memberiku mimpi. Aku ingin kuliah. Aku ingin berdiri di depan kelas, tidak hanya menyajikan minuman. Tapi rupanya, punya mimpi saja kadang bisa membuatmu terlihat aneh di mata orang lain.
“Ngapain sih kamu sekolah tinggi-tinggi, Ra?” tanya Bu Rina, tetangga sebelah yang −sayangnya juga kami kenal sangat “suami-suami”.
Aku hanya tersenyum saat itu. Tapi dalam hati, batinku bergejolak seperti deru.
“Perempuan itu lemah, Ra,” kata Pak Jono suatu hari. “Urusan terpentingnya di bangsa adalah…”
Aku diam. Tapi aku tidak berhenti belajar. Setiap hari aku bantu ibu di warung kecil kami. Sambil sesekali aku menyelinap membaca buku di bawah remang lampu minyak. Ayah sudah tiada sejak aku SMP. Dan sejak itu, orang-orang seolah punya banyak berharga bagiku. Ya… terlalu banyak.
Namanya Risa. Usianya lima tahun lebih tua dariku. Dulu dia sempat kuliah tapi berhenti demi membantu ibu. Sejak ayah meninggal. Sejak itu, dia bekerja serabutan. Dia tidak pernah bercerita banyak tentang mimpinya. Seolah, dunianya dia rajut dengan kepasrahan.
“Ra, kamu ‘kan mau kuliah? Kalau nggak punya biaya,” katanya suatu itu. “Aku akan cari. Pasti ketemu. Yang penting kamu butuh izin restu,” jawabnya mantap.
Dia menatapku lama-lama. Mengisyaratkan pelukan. Karena kami yakin… Abang datang. Tapi kami harus lebih kuat dan menyimpan mimpi orang-orang.
Kalimat itu menancap dalam di hati. Sejak saat itu, Abang jadi pelindung yang diam-diam menguatkanku. Ia sering memberiku pinjaman buku-buku bekas. Dan saat aku mulai meragukan diri sendiri, Abang yang paling keras menyemangatiku.
Akhirnya aku mendaftar ke perguruan tinggi negeri di kota. Aku hanya berbekal satu hal, yaitu keyakinan lewat keajaiban.
Hari pengumuman tiba. Tanganku gemetar membuka amplop. Dan saat kulihat kata “DITERIMA” terpampang di layar, aku menangis sejadi-jadinya. Ibu memeluk erat, dan abang berdiri di belakang kami. Matanya sembab.
“Abang bangga sama kamu, Ra. Teruslah melangkah,” ucapnya lirih.
Hari-hari berangkat kuliah, orang-orang dulu mencibir, berbalik melotot dan keheranan. Ada yang tersenyum kaku, ada yang hanya diam. Tapi aku tidak butuh pengakuan mereka. Aku hanya ingin membuktikan pada perempuan juga Risa.
Kini, aku sudah semester lima. Aku sering pulang ke desa untuk mengajar anak-anak kecil di sana. Bu Rina pernah datang dan berkata, “Ternyata kamu juga hebat, Ra. Maaf ya dulu tante suka ngomong sembarangan.”
Aku hanya tersenyum. Abang sering mengantarku ke tempat les. Mengajar, meski dia sendiri masih harus kerja serabutan. Katanya, melihatku mengejar mimpi adalah energinya menjaga mimpi yang dulu ia tinggalkan.
Di malam yang sunyi, aku duduk di beranda rumah bersama Ibu dan Abang. Aku menatap bintang-bintang di langit. Hatiku bergetar pelan. “Ternyata menjadi perempuan bukan alasan untuk berhenti bermimpi. Pendidikan bukan hanya milik laki-laki. Aku ingin semua anak perempuan tahu… kita bukan makhluk lemah seperti yang orang bilang. Kita hanya butuh kesempatan untuk membuktikan bahwa kita bisa berdiri sama tinggi. Bahkan mungkin lebih tinggi. Dan tak ada yang lebih indah selain melihat kearifan baru yang kita perjuangkan sendiri.”